Selasa, 09 Februari 2010

ART AND COPY (MOVIE)


ART & COPY is a powerful new film about advertising and inspiration. Directed by Doug Pray(SURFWISE, SCRATCH, HYPE!), it reveals the work and wisdom of some of the most influential advertising creatives of our time -- people who've profoundly impacted our culture, yet are virtually unknown outside their industry. Expl...oding forth from advertising's "creative revolution" of the 1960s, these artists and writers all brought a surprisingly rebellious spirit to their work in a business more often associated with mediocrity or manipulation: George Lois, Mary Wells, Dan Wieden, Lee Clow, Hal Riney and others featured in ART & COPY were responsible for "Just Do It," "I Love NY," "Where's the Beef?," "Got Milk," "Think Different," and brilliant campaigns for everything from cars to presidents. They managed to grab the attention of millions and truly move them. Visually interwoven with their stories, TV satellites are launched, billboards are erected, and the social and cultural impact of their ads are brought to light in this dynamic exploration of art, commerce, and human emotion.

Rabu, 20 Januari 2010

It’s Kentucky Fried China

Kentucky  Fried Chicken
Kentucky Fried Chicken

Walau bagaimanapun, restoran fastfood memang identik dengan kultur barat. Oleh karena itu, wajar jika strategi marketing mereka selalu dikaitkan dengan upaya lokalisasi, seperti Toni Jack’s yang melibatkan batik dalam upaya gimmick. Namun dalam hal akulturasi, Toni harus belajar banyak dari strategi KFC di China, yang tahun ini menginjak usia 22 tahun dengan lebih dari 2500 outlet—menjadikannya chain restaurant terbesar di negara itu. Bagaimana persisnya?

Harus diakui Jakarta telah kehilangan salah satu ikonnya, yaitu huruf M raksasa di Thamrin, yang saat ini ditutupi kain hitam dan digantikan dengan lambang bajak laut bernama Toni Jack’s dengan pakaian hijau-orange. Tidak hanya di Sarinah, tapi Ronald saat ini memang sudah digusur dari semua restoran McDonald’s yang lisensinya sempat dimiliki Bambang Rachmadi. Toni menyapa orang-orang dengan ‘paket marah’ dan slogan ‘better than that one’—tentunya kita tahu siapa yang dimaksud dengan ‘that one’ itu.

Toni tahu bahwa sebagai bajak laut, ia tidak bisa diam saja, meski diuntungkan dengan beberapa lokasi ‘kapalnya’ yang strategis. Toni lalu berusaha mendekati masyarakat Indonesia melalui strategi kultural, yaitu mengaitkan batik, yang sedang menjadi topik hangat, terlebih setelah tanggal 2 Oktober itu. “Gratis eskrim setiap hari Jumat bagi anda yang memakai batik,” kata Toni.

Mungkin memang harus menunggu beberapa waktu untuk melihat apakah Toni akan mendapatkan banyak harta karun dari kebaikan hatinya itu, tetapi jika Toni sempat bertemu dengan Kolonel Sanders pada tahun 1987, ia pasti bisa mendengar kisah sang kolonel yang murah senyum itu mengenai bagaimana KFC, sebuah simbol barat bisa begitu dicintai di Cina, negara yang awalnya memiliki kebijakan yang sangat bertentangan dengan negara asal KFC.

Rumah pertama Sanders di China terletak dekat dengan lapangan Tiananmen, yang juga lokasi ikonik di China—dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1989, lapangan Tiananmen menjadi saksi sejarah revolusi berdarah di China. Pada dua dekade kemudian, KFC mendirikan rumah-rumah yang lain di seluruh China sehingga mencapai angka 2500 outlet di 280 kota, sebuah angka yang disebut-sebut sebagai fenomenal—bahkan tahun lalu saja sales tahunannya mencapai $2 triliun. Jumlah rumah Sanders ini jauh melebihi jumlah rumah Ronald—hanya sekitar 800, termasuk diatas local chain yang juga berkembang di China, seperti Zhen Gongfu, atau Ajisen Ramen yang berasal dari Jepang. Namun dengan pertumbuhan outlet baru yaitu rata-rata 300 pertahun, hampir bisa dipastikan KFC akan sulit terkejar, bahkan mungkin bisa melebihi rumah Sanders di kampungnya, Amerika Serikat. Popularitas ini, bahkan membuat KFC sering disebut sebagai Kentucky Fried China.

Kesuksesan ini, menurut Warren Liu, penulis buku “KFC In China: Secret Recipe for Success”, adalah berkat dari kekuatan konteks, orang-orang, strategi dan eksekusi. “China adalah pasar yang sukar karena keberagaman dan kerumitan budayanya, faktor geografinya, dan lingkungan bisnis yang berubah terus menerus,” tulis Liu.

Pada lingkungan seperti ini menurut Liu, yang menjadi keuntungan kompetitif KFC adalah kecepatan dalam hal memutuskan dan mengeksekusi strategi penetrasi pasar. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar pimpinan awal KFC adalah mereka yang kemudian dikenal sebagai “Taiwan Gang”. “Mereka memiliki pengalaman berpuluh-puluh tahun di industri makanan siap saji,” jelas Liu. Yang juga penting, kata Liu, meski banyak yang berlatar belakang pendidikan dari barat, mereka adalah orang-orang yang juga beretnis China, dan secara alamiah mengerti karakter pasar yang mereka hadapi, dan mempermudah proses consumer insight. “Pemahaman ini membawa keputusan intuitif yang menghemat banyak waktu,” tambah Liu.

Intuisi ini kemudian melahirkan product localisation, yang juga bagian penting dari kesuksesan KFC di negara dengan penduduk terbanyak di dunia itu. Dengan daging ayam sebagai core product, KFC juga diuntungkan karena sebagian besar penduduk China memang mengkonsumsi ayam, selain daging babi yang juga disukai. “Ini adalah keuntungan alami KFC dibandingkan McDonald’s,” tambah Liu.

Selain menu original KFC yang juga diterima oleh konsumen, KFC juga memenuhi selera lokal dengan menyediakan menu seperti congee atau bubur ayam khas China untuk sarapan, Beijing Chicken Roll ala Bebek Peking yang terkenal, disajikan dengan saus seafood, dan Spicy Diced Chicken yang menyerupai hidangan ala Sichuan. Selain akar lotus, inovasi terbaru KFC adalah Youtiao, sejenis donat khas China yang selalu ada dalam menu sarapan mereka.

KFC di China berada dalam pengelolaan parents company YUM! Brands bersama dengan Pizza Hut dan Pizza Hut Express. Meski KFC di China terhitung sebagai bintang dengan kontribusi lebih dari 20% terhadap global revenue dari YUM! Brands, perusahaan yang berpusat di Louisville Amerika Serikat ini terhitung sangat agresif dengan tetap meluncurkan chain baru termasuk restoran tradisional China, East Dawning. “Saya rasa mereka ingin menutup segala kemungkinan lahirnya kompetitor lokal yang potensial, dan East Dawning adalah senjata mereka,” tulis Liu.

Meski demikian, menurut Liu, KFC jangan terlalu ekspansif dan jor-joran dalam mengenalkan produk-produk baru, namun harus menjaga kualitas, rasa dan strategi harga. “Yang juga penting adalah regenerasi dari Taiwan Gang kepada orang-orang China itu sendiri, bukan dengan alasan altruistik tapi karena orang-orang lokal akan jauh lebih mengerti karakteristik market,” kata Liu yang juga merupakan pria di belakang kesuksesan KFC di China ini.

Senada dengan Liu, Sam Su yang mengepalai YUM! Brands China mengatakan bahwa di negara seperti China, setiap perusahaan harus mencoba model baru. “Kami bahkan menyediakan menu yang serupa dengan makanan-makanan yang bisa diperoleh orang-orang China dari warung-warung pinggir jalan ketika mereka pulang bekerja,” jelas Su sebagaimana dikutip dari sebuah situs.

Situs itu juga menyebutkan bahwa preferensi orang China terhadap KFC jarang sekali pada menu ayam gorengnya, sebagaimana diakui oleh He Qi, seorang pria yang mengunjungi KFC tiga sampai empat kali seminggu untuk makan ikan, bubur, dan egg tarts.

Menurut Lucy Wu, Deputy Head Asosiasi Franchise dan Chain Store China, kesuksesan KFC di China memang karena strategi lokalisasinya. Hal ini bahkan membuat model bisnis KFC di China akan diadaptasi di Amerika sebagaimana dituturkan oleh David Novak, petinggi YUM!. Novak berencana akan meningkatkan menu sarapan, penjualan sore hari, dan lebih banyak pilihan untuk minuman dan makanan penutup.

Mungkin tampak sederhana, tapi pengenalan terhadap selera lokal memang sangat krusial jika produk lahir dari kultur non lokal. Di Indonesia, yang karakter asianya mirip dengan China, pendekatan serupa mungkin bisa dilakukan, sehingga Toni Jack’s mungkin akan berganti nama menjadi Tono Jojo, dan “paket marah” menjadi “paket ramah”.

Rabu, 13 Januari 2010

Tren Built In Branding Di Program Televisi

The Master
The Master

Bagaimana membuat built-in branding—atau juga dikenal dengan product placement—yang efektif? Produk jangan diletakkan sekadar agar visible, jadilah bagian organik dari acara, dan pertahankan elemen surprise. Ini dia contohnya.

Final American Idol sesi terakhir antara Kris Allen dan Adam Lambert sudah lama berlalu. Demikian juga kritik pedas dari meja juri terutama Simon Cowell, yang setia menghujani telinga kontestan dan penonton dengan nada-nada sarkasme. Tapi ada lagi yang juga setia di meja juri: Coca-Cola yang sudah bergabung dengan acara yang disiarkan oleh stasiun TV Fox ini sejak 2002.

Menurut Billboard.biz, kerjasama antara Coca-Cola dan acara yang diproduksi oleh Fremantle Media ini bernilai US$ 10 juta dan terus diperbaharui setiap musim. Exposure-nya cukup memuaskan—Nielsen Product Placement Service menyebut Coca-Cola sebagai Top Show product placement 2008 dengan pemunculan sebanyak 2.000 kali selama musim itu. Logo coke yang terkenal ini terlihat pada banyak bagian acara yang dipandu Ryan Seacrest itu, terutama di meja juri.

Tapi model built in branding seperti ini tidak dilirik Derrick Surya, Brand Manager Top1 yang melakukan placement di acara The Master tayangan RCTI. “Kami menginginkan breakthrough, dan tidak sekadar meletakkan logo,” kata Derrick. Menurut Derrick, penempatan produk seperti itu, beserta running text dan lain-lain sudah sangat standard. “Saya minta agar Top1 bisa masuk ke dalam tayangan tapi secara smooth,” kata Derrick.

Lalu, bersama dengan pihak RCTI dan Deddy Corbuzier (DC), sang penggagas The Master, Derrick mengkonsep integrasi brand Top1 ke dalam pertunjukan. Ini tampak misalnya ketika sang mentalist berinisial DC itu memainkan games dengan kombinasi angka-angka tertentu yang jawabannya merujuk pada Top1. “Konsepnya adalah Top1 sebagai klimaks jawaban dari games, dan pemunculannya harus kuat,” kata Derrick.

Pada beberapa episode awal The Master, DC lah yang menjadi eksekutor built in branding Top1 ini. Lalu di episode selanjutnya, penonton mulai bisa menebak di setiap segmen DC, pasti akan ada Top1, kata Derrick. Berkelit dari keterdugaan, Derrick lalu mengganti gamer (pesulap)-nya. “Namun, penonton setia The Master pasti menduga akan ada built-in, hanya mereka tidak menduga bentuknya akan seperti apa,” tegas Derrick.

Acara ini setidaknya telah melahirkan dua kesuksesan. Pertama, RCTI telah menerabas trend sinetron dan reality show di channel lain melalui talent show dengan konsep yang belum pernah ada sebelumnya, dan kedua, eksekusi produk placement yang cermat. Rating acaranya juga cukup sukses, bahkan over ekspektasi. “Sebelum melahirkan acara ini, RCTI hanya berani pasang target rating 2-3, tapi kenyataannya bisa sampai 7 pada target market spesifik Top1,” kata Derrick. Tentu sambutan ini dijawab dengan diperpanjangnya episode acara yang bahkan tidak diprediksi booming ini—sampai muncul sebanyak empat sesi.

Yang menarik, ada trend kalau penonton memang menunggu segmen built in Top1 ini. “Setelah di-track rating by minute, terlihat saat Top1 muncul, rating-nya lebih tinggi dari rating average,” jelas Derrick. Hal ini, lanjut Derrick, menunjukkan adanya minat untuk mengetahui apalagi yang akan dilakukan Top1—ada rasa penasaran dan ditunggu-tunggu penonton. Oleh karena itulah, acara ini meraih awareness yang sangat tinggi, baik untuk show-nya maupun untuk Top1 sebagai sponsor utama. “Built in yang dilakukan Top1 menjadi rujukan bagi prinsipal lain, bahkan ada yang menyebut sebagai 'corporate magic'”, kata Derrick.

Meski demikian, awal keikutsertaan Top1 tak lebih dari sekadar gambling dengan result yang memuaskan dan trade off spot iklan. “Kami mengorbankan budget untuk spot iklan 50% untuk placement ini,” cerita Derrick. Tapi, hal ini dilakukannya memang merujuk pada brand guideliness Top1 untuk selalu menjadi pionir, termasuk dari segi komunikasi. “Kalau hanya pasang iklan biasa, berapa banyak opportunity yang lost ketika penonton ganti channel?” kata Derrick. Apalagi, lanjut Derrick, jeda iklan di The Master termasuk cukup panjang, bisa mencapai 7 menit. “Oli tidak cuma bisa dipromosikan di bengkel atau yang berkaitan dengan kegiatan otomotif.”

Menurut Derrick, The Master dijadikan Top1 sebagai sarana service kepada customer—customer di Jabodetabek diberi undangan khusus untuk menonton secara langsung di RCTI. “Selain awareness, acara ini telah melahirkan WOM dan respon yang luar biasa bahkan sampai ke Atambua,” tambah Derrick. Banyak dari mereka yang request untuk bisa menonton secara langsung—menjadi bagian dari placement Top1. “Ini artinya mereka telah memiliki sense of brand belonging yang tinggi,” simpul Derrick.

Memanfaatkan Momentum

William Yusak
William Yusak
Setelah “The Master”, wabah tayangan berbau sulap menginspirasi lahirnya acara serupa, Cinta (Juga) Kuya. Pada acara realitas tayangan SCTV ini, giliran Sozzis dan So Nice, brand produksi Japfa yang melakukan product placement. Menurut William Yusak, Product Manager Japfa, dipilihnya acara Cinta (Juga) Kuya untuk product placement, karena dua hal. “Pertama, karena acara magical seperti ini sedang booming, dan kedua karena kami juga menyasar target market anak-anak,” jelas Yusak.

Cinta (Juga) Kuya yang menampilkan magician anak-anak ini juga melibatkan produk daging olahan itu sebagai bagian yang organik dari cerita. “Misalnya Sozzis dimasukkan dalam kotak, abrakadabra, Sozzis hilang, kemudian muncul di antara penonton,” kata Yusak. Tujuannya, kata Yusak, adalah agar target market anak-anak semakin ingin mengkonsumsi So Nice dan Sozzis—memperkuat iklannya.

Meski demikian, berbeda dengan Top1 yang mengalokasikan budget hingga 50%--dari total belanja untuk placement di Teh Master, Japfa tetap mengalokasikan proporsi terbesar budget untuk komunikasi lewat iklan spot So Good. Soalnya, menurut Yusak, spot iklan TV akan lebih menancap di benak konsumen dibandingkan built-in, yang hanya sekelebat saja. “Tapi pada saat break, kita bisa pasang berapa kali spot tergantung budget kita,” kata Yusak.

Sebelum Cinta (Juga) Kuya, Japfa sejatinya juga pernah melakukan built in produk So Nice di acara Tawa Sutra yang ditayangkan di Anteve. “Sengaja dipilih acara itu karena pengisi acaranya juga adalah talent dari iklannya,” kata Yusak. Berbeda dengan Cinta (Juga) Kuya, pada Tawa Sutra, hanya So Nice yang menyusupi acara yang dibintangi Budi Anduk ini. “Kami memang berusaha menyesuaikan dengan target market dari acara itu,” kata Yusak. So Nice sendiri adalah produk dengan target kelas C-D.

Kerjasama dengan Cinta (Juga) Kuya, lanjut Yusak, akan berjalan sampai 13 episode. Sementara di Tawa Sutra So Good muncul tidak sampai 10 episode. Meski masih dominan dengan iklan spot, Yusak mengakui bahwa built in cukup efektif untuk memperkuat brand image. Seiring dengan kenaikan budget komunikasi, termasuk untuk produk placement, sales untuk produk So Good diklaim meningkat signifikan. “Kalau dihitung dari April naiknya sekitar 150%.”

Brand Cameo Belum Jadi Pilihan

Kalau cerita sebelumnya mengupas built in branding atau product placement di program televisi, kisah di bawah ini merupakan built in di film bioskop (movie) yang terkenal dengan istilah brand cameo. Nah, dalam hal ini, “Claudia/Jasmine” dan “Gara-gara Bola” adalah dua film Indonesia dimana merek Top1 pernah melakukan placement. Tapi seperti dikatakan Derrick Surya, built in di film nasional belum banyak dijadikan pilihan para prinsipal. “Animo terhadap film masih rata-rata, dan hanya film tertentu yang bisa boom, itupun kalau di-endorse dengan baik,” kata Derrick.

Tapi di Amerika, product placement bahkan disebut sebagai “the next level of marketing”, dan brand sudah sangat terbiasa built in dalam sebuah film. BrandChannel.com bahkan membuat award—Brandcameo Award, untuk brand yang melakukan placement di film, berdasarkan banyak sisi termasuk chemistry dengan film yang disusupinya tersebut. Award ini disusun berdasarkan riset dari BrandChannel sendiri dan survey terhadap pembaca.

Pada 2008 Brandcameo Product Placement Award, BrandChannel menganugerahi Ford gelar bergengsi yaitu “Brandcameo Award for Overall Product Placement”. Ford telah muncul di 30 dari 52 film box office Amerika sepanjang 1 Januari 2007 sampai 30 Juni 2008. Ini artinya Ford meningkatkan belanja iklan built-in mereka karena pada 2006 hanya muncul di 17 dari 41 film dan 18 dari 41 film pada 2007.

Sementara itu, film “Iron Man” dianugerahi “Brandcameo Award for Best Off-Screen Support”. Audi R8 memainkan peran yang 'mengesankan' untuk film ini. Menurut BrandChannel, Audi R8 telah melahirkan simulakrum—saat garis antara film dan realitas makin tipis, ketika bintang “Iron Man” Robert Downey Jr datang ke premier film dengan mobil yang sama dengan yang ada di film. Downey juga menunjukkan HP merek LG special edition yanhg dilapisi emas 18 karat, persis seperti di film. Tak cukup dengan itu, Downey dalam sebuah interview dengan sebuah media menyebutkan bahwa perjalanan ke Burger King—salah satu sponsor film ini, telah meyakinkannya untuk 'membereskan hidupnya' (Downey terkenal punya masalah narkoba).

Ada pula “The Scene Stealer Award” yang diberikan bagi brand yang mencuri perhatian dari bintang filmnya. Untuk award ini, Will Smith dalam “I Am Legend” harus kalah dari Ford Mustang. Menurut BrandChannel, yang dilakukan Ford Mustang di film ini adalah the blueprint for good product placement. Di sisi lain, Nokia justru dianggap missplacement pada film “Cloverfield” karena dianggap mengganggu saat menikmati sebuah adegan. Atas 'prestasi' ini Nokia dianugerahi “The Bomb Award”.

Film “Sex and The City” diberi tiga gelar sekaligus. Pertama sebagai “The Most Mouthwatering Award” untuk Louis Vuitton yang dianggap mampu merangsang konsumen untuk membeli produk segera sesudah menonton filmnya. Film ini juga dianggap memiliki chemistry dengan Manolo Blahnik sehingga diganjar “The Perfect Fit Award” sebagai built in yang paling sejiwa satu sama lain. Terakhir, “The Film Whore Award” diberikan pada “Sex and the City” karena dianggap sebagai film paling “sold out” untuk product placement. Penghargaan “The Odd Couple Award” juga diberikan bagi pasangan HP LG dan film “Iron Man” yang dianggap sebagai product placement yang paling tidak efektif. Award yang sama juga diberikan bagi TicTacs dan film Juno. (Iski)

Andini Wijendaru, PR Executive AGB Nielsen Media Research:

Hati-hati, Bisa Mengurangi Kenyamanan

Menurut pengamatan kami, trend product placement semakin lama semakin banyak dan beragam, tidak hanya pada program kuis, reality show, tetapi juga musik, infotainment, talkshow, dan lain-lain. Selain built in, saat ini juga banyak iklan non klasik lain seperti running text (iklan dalam bentuk teks berjalan di bagian bawah layar), super impose (iklan dalam bentuk teks atau grafis yang sewaktu-waktu muncul di pojok layar), squeeze frame (iklan yang muncul dengan memperkecil layar program), dan sebagainya. Hampir semua jenis program saat ini memiliki iklan non-klasik, termasuk program berita.

Mengenai pengukuran, sampai saat ini sifatnya masih adhoc, artinya kami belum melakukan pengukuran terhadap semua brand dan semua produk. Jadi pengukuran product placement dalam sebuah program hanya dilakukan bagi klien yang memesan.

Jika kita membandingkan kreativitas product placement di Indonesia dengan negara lain, misalnya Amerika, Indonesia lebih kreatif dengan munculnya beragam iklan non-klasik seperti template, running text, super impose, squeeze frame, dan sebagainya.

Di sisi lain, product placement yang termasuk non-klasik spot kemungkinan menarik perhatian yang lebih besar dari penonton dibandingkan dengan loose spot (iklan yang ditayangkan di slot iklan) karena iklan/produk tayang bersamaan dengan program yang sedang ditonton.

Namun demikian pengiklan harus berhati-hati agar tidak berlebihan dalam product placement karena bisa jadi justru mengurangi kenyamanan menonton pemirsa. Hal kedua yang juga perlu diperhatikan adalah, raihan angka rating yang besar pada product placement tidak bisa dibandingkan dengan raihan rating pada loose spot, karena pada product placement perhatian pemirsa sebagian besar pada content. Sementara pada saat loose spot tayang, perhatian pemirsa sepenuhnya pada iklan tersebut.

Langkah Cantik ESIA sebagai Market Challenger

Konsumen dibuat tersenyum dan penasaran dengan berbagai taktik pemasaran ESIA yang secara tangible dinikmati melalui iklan-iklan esia. Lihat saja bagaimana esia mendobrak melalui pricing strategy, dengan munculnya tarif per detik, dan sms per karakter. Sebuah inovasi baru dari ESIA yang langsung menghadang para pemain lama di seluler, akhirnya hal ini diikuti hampir oleh semua operator.


Langkah yang cukup diperhitungkan adalah strategy untuk memecahkan pasar seluler khususnya GSM dengan memunculkan berbagai macam Hape low end tematis. Dan langkah inipun kemudian diikuti oleh hampir seluruh operator seluler di Indonesia.


Strategy baru yang dimunculkan untuk mengakuisi dan sekaligus penetrasi pasar adalah ESIA Bispak (Esia bisa pake tarif manapun..), strategy ini menguatkan positioning ESIA sebagai TERMURAH, karena pelanggan dapat langsung membandingkan tarif operator seluler lainnya bahkan memberi diskon lagi sebanyak 10 %, untuk membuktikan bahwa ESIA adalah termurah. Dan langkah ini pun mulai diikuti oleh operator- operator seluler yang lainnya.


Serta merta belum habis penasaran market terhadap ESIA BISPAK, muncul kembali iklan ESIA SUKA-SUKA untuk memanjakan pelanggan dan calon pelanggan dengan tawaran memilih nomer ESIA sesuai keinginan.


Erick Mayer mengeluarkan istilah Innovation Destructive dengan strategy-strategy yang dilakukan dalam menggoyang pasar seluler. Efektifkan program-programnnya? Hal ini belum bisa dinilai efektif atau tidak karena ESIA juga masih pada level market share yang sama dibanding dengan operator-operator lainnya. Paling tidak, perlu analisis lebih untuk mengatakan strategy yang dijalankan ESIA cukup ampuh untuk memenangkan heart share pelanggan.


Tapi lepas dari efektif atau tidaknya strategy tersebut langkah-langkah ESIA benar-benar menunjukan sebuah operator yang memposisikan dirinya sebagai Market Challenger. Walaupun termasuk pendatang baru di dunia seluler tapi ESIA tidak masuk dengan strategy statis atau lebih dikenal dengan market follower. ESIA masuk memposisikan dirinya sebagai penantang pasar.


Dari perspektif marketing setidaknya ESIA menerapkan 9 Hukum dasar pemasaran dari 22 hukum dasar (“The 22 immutable laws of marketing”, Al Ries & Jack Trout, 1993) dan menggunakan seluruh konsep pergantian (6 konsep) di lateral marketing, menggunakan 3 konsep strategi bersaing tetapi lemah di 1 taktik pemasaran.


9 (sembilan) hukum dasar marketing yang dilakukan adalah Hukum kepemimpinan, Hukum Kategori, Hukum ingatan/pikiran, Hukum persepsi, Hukum Tangga, Hukum Lawan. Hukum Atribut, Hukum Ketunggalan dan Hukum eksklusivitas. Hukum kepemimpinan menyebutkan ‘ lebih baik menjadi yang pertama daripada menjadi yang lebih baik, dan ini terlihat dengan jelas dari berbagai strategy tarif esia, merubah dari tarif pe menit menjadi per detik, tarif sms per kirim pesan (per 160 karakter) menjadi per karakter, menawarkan nomer sesuai keinginan pelanggan dengan ESIA SUKA-SUKA, dan lainnya dan hampir selalu dalam setiap promo ESIA menyebutkan sebagai yang Pertama di Indonesia. Mungkin tidak lebih baik dari kompetitor seluler lainnya, tetapi ESIA menjadi yang pertama dalam program-program tersebut.


Hukum kategori, menyebutkan ‘ Jika anda tidak dapat menjadi yang pertama dalam sebuah kategori, buatlah kategori baru yang menjadikan Anda yang pertama’. ESIA jelas tidak masuk dalam persaingan Coverage, atau kategori teknologi tinggi seperti halnya GSM dengan 3G, 3,5 G, atau bahkan layanan Black berry, tetapi ESIA masuk dengan hukum kategori di atas, bahwa Jikalah tidak bisa mengalahkan market leader dalam semua kategori maka menanglah di beberapa kategori dimana market leader lemah. ESIA memainkan dengan menawarkan 14 Hape Tematis, mempositioningkan sebagai operator seluler Termurah dengan program ESIA BISPAK, SMS per karakter dan lainnya.


Hukum Lawan ‘Jika Anda ingin menduduki tempat kedua, strategi Anda ditentukan oleh merek teratas. Intinya adalah mencoba tampil beda, jika dalam beberapa kategori kalah maka unggulah di kategori-kategori yang lepas dari perhatian market leader. Inilah yang sering dimainkan ESIA, salah satu promonya adalah Talk Time ESIA paling lama, dimana salah satu benefitnya adalah terima telepon esia dapat Rp.50,-, Variasi Hape Tematis yang menarik, SMS per karakter dan lainnya.


6 (enam) konsep yang lateral marketing yang digunakan oleh ESIA adalah konsep subtitusi, kombinasi, pembalikan, penghilangan, pembesar-besaran, dan pengubahan urutan. Dalam konsep subtitusi kita bisa melihat program-program pemasaran ESIA seperti ‘yang lain sibuk perang tarif, ESIA malah bagi-bagi uang’, ‘ESIA suka-suka’ pilih sendiri nomor anda dimana ESIA menghilangkan peran outlet lepas untuk langsung direct marketing melalui web, dan program-program lainnya. Dalam Konsep Penghilangan, ESIA tampil dengan tarif per detik, sms per karakter... Dalam konsep pembesar-besaran digunakan ESIA untuk focus menawarkan berbagai jenis Hape ESIA dengan sangat Tematis, bahkan terkesan ESIA adalah operator penjual Hape bukan Staterpacknya maupun Vouchernya, dan konsep-konsep lainnya.


3 (tiga) strategy bersaing yang diterapkan oleh ESIA yang pertama adalah keunggulan biaya murah melalui campaign ESIA TERMURAH, tarif layanan per detik, sms per karakter yang mengarah pada ‘pay what you use’. Strategy yang kedua adalah Focus, ESIA begitu focus menyasar potensi pasar terbesar seluler yaitu anak muda ke atas melalui Event sms-sms lucu dan terpendek, Event lomba bicara berjam-jam, hape-hape tematis, dan lainnya. Dan Strategy ke 3 yang dilakukan ESIA adalah Diferensiasi, dengan menawarkan program ESIA BISPAK, ESIA SUKA-SUKA, beragam Hape tematis, dan lainnya.


Dengan pola di atas ESIA benar-benar memposisikan dirinya sebagai Penantang Pasar (market challenger). Dan akhirnya apapun yang dilakukan ESIA mau tidak mau, senang atau tidak senang akan menggelitik pasar dan sangat mengganggu langkah kompetitor.


Saya melihat bahwa konsep Innovation Destructive yang di beberkan oleh Erich Mayer bukan lah sebuah konsep tunggal tapi merupakan gabungan dari berbagai macam strategy di atas. Langkah Cantik ESIA sebagai market challenger .
Hanya ada satu taktik pemasaran yang agak lemah di ESIA. Dan ini menjadi titik yang kritis yang membuat strategy program di atas menjadi tidak powerfull untuk penetrasi dan akuisisi pasar. Hal tersebut adalah Managing Distribution Channel. Channel ibarat aliran darah dari jantung, jika bermasalah maka sebagus apapun jantungnya, darah tidak akan bisa mengalir. Pola Franchise yang digunakan ESIA sangat-sangat tidak menguntungkan, demikian pula konsep teritori dengan mengandalkan dealer juga sangat lemah untuk membawa misi penetrasi dan akuisisi pelanggan.


Pekerjaan Rumah yang cukup besar untuk ESIA jika ingin menjadi market leader di CDMA dan menjadi pemain nomor 2 di Seluler.

Selasa, 12 Januari 2010

Gender Bending Brands: Trik Menjangkau Lebih Banyak Konsumen

Ketika penjualan suatu produk menghadapi masalah, tak ada salahnya Anda memikirkan apa jenis kelamin brand anda? Apakah ia laki-laki atau perempuan?

Awalnya, Creative Boutique Bombang (CBB) bermain-main dengan pertanyaan apakah itu seperti mahluk hidup? Maksudnya, dia memiliki jenis kelamin atau tidak? Nah, kalau jawabannya ya, termasuk jenis kelamin apakah produk Anda? Ketika diminta untuk memberi masukan tentang Quicksilver, CBB muncul dengan rekomendasi nyeleneh. Bengkokkan kesan Quicksilver yang sebelumnya “macho” menjadi sebuah sub-brand parfum yang sangat perempuan dengan ide peluncuran brand Roxy. Tak main-main, Roxy lantas menyumbang 35% revenue bagi Quicksilver.Image

Quiksilver merupakan produsen dan distributor pakaian dan asesoris untuk orang–kebanyakan lelaki--yang berjiwa muda dan bergaya casual. Produk-produk Quicksilver dijual di hampir seluruh negara, terutama di toko-toko surfing, skateboard dan toko-toko yang menyediakan barang-barang asli.

Matthew Paprocky, presiden agensi yang berbasis di New York itu mengatakan bahwa gagasan utama pendefinisian ulang “seksualitas brand” ini didapatkan dengan cara memahami produk tersebut. Yang dia lakukan pertama adalah mengkaji apa sesungguhnya orientasi (gender)nya, dengan melihat apa yang menjadi daya tarik alamiah produk tersebut dan aktifitas marketing yang berada di belakangnya. “Semua strategi yang dilakukan fokus pada orientasi yang berbeda, yang ketika dibengkokkan, hal ini akan menarik perhatian 'lawan jenis' dan meningkatkan potensi pasar dari produk itu,” kata Matthew.

Menurut Rupal Parekh dari www.adage.com, pada era dimana para konsumen mengurangi belanjanya, sudah saatnya kalangan marketer mempertimbangkan untuk membengkokkan jenis kelamin brandnya. “Marketer harus inovatif dalam meningkatkan share dengan menjangkau segmen konsumen yang belum dimanfaatkan,” tulis Rupal.

Image Rupal mengambil contoh ketika Bombang di-“sewa” oleh Quicksilver—brand yang seolah hanya untuk laki-laki, untuk merancang strategi meraih perhatian kaum wanita. Portfolio produk Quicksilver yang selama ini terdiri dari apparel, papan surf, kacamata, topi, dan lain-lain yang terkesan “cowok banget” kemudian diperkaya dengan line up untuk wanita seperti parfum, produk kecantikan bahkan perlengkapan kamar tidur. Hasilnya, produk-produk itu memberikan kontribusi 35% dari total revenue Quicksilver pada tahun 2008.

Tidak hanya itu, peritel pakaian dalam Wish Room mengeluarkan dana untuk lebih memahami kemungkinan bahwa pria diam-diam menginginkan bra untuk diri mereka sendiri. “It may sound like a joke, but Wish Room saw hundreds of “mansierres” fly out the door at $30 a pop in Japan,” tambah Rupal.

Bukan Ide Baru

Rupal menjelaskan bahwa hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ia menceritakan ketika pada tahun 1960-an Phillip Morris meluncurkan rokok Virginia Slims, dengan kampanye “You've Come a Long Way, Baby”, dan Frito Lay yang baru-baru ini meluncurkan snack yang lebih ramah pada 'perempuan'.

Pakar marketing menyebutkan bahwa saat ini setiap strategi harus hati-hati dengan pesan mereka, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan pemetaan terhadap pengemasan dan merchandising sebagai bagian dari program pemasaran. Rupal lalu mencontohkan strategi gender bending yang dilakukan brand yang ingin lebih menyasar kaum laki-laki yang dilakukan Boombang untuk divisi Ace dari perusahaan Newell Rubbermaid—dimana Bombang merancang produk seperti pinset dan gunting kuku untuk laki-laki.

Menurut Valee Gallant, Marketing Communication Manager Ace Atlanta, pada umumnya laki-laki tidak mau pergi ke “area pink” di supermarket untuk mendapatkan pinset dan gunting kuku yang dibuat untuk perempuan. “Mereka ingin produk yang terlihat maskulin dan dibuat spesifik untuk kebutuhan penunjang penampilan pria, dan bukan hanya produk wanita tapi dalam kemasan berbeda,” kata Valee.


Berpikir di Luar Kotak

Boombang merancang alat yang lebih ergonomik untu pria, dan juga lebih kuat, untuk mengatasi masalah seperti kuku kaki yang tebal dan bulu yang tumbuh di tempat-tempat berbeda. Agensi ini juga lalu berusaha membuat serangkaian produk yang bisa tersedia tidak hanya di toko obat tapi toko seperti Home Depot.

Tidak hanya itu, Rupal mencatat bahwa Boombang juga mengubah kemasan tinfoil condom yang biasanya kotak dalam rangka meraih perhatian wanita. Kondom “Siren” didesain untuk bisa masuk dalam tube seperti lipstick.

Menurut pakar marketing, eksekusi adalah kuncinya. Untuk melestarikan ekuitas mereknya, merketer harus memastikan bahwa meski menggarap segmen baru dari demografik inti, tapi hal ini jangan sampai mengorbankan konsumen setia mereka.

“Ketika banyak perusahaan menggunakan strategi ini, mereka banyak memikirkan keuntungan jangka pendek, tapi menafikan degradasi yang mungkin akan terjadi pada term yang lebih panjang,” kata Jill Avery, asisten profesor dari Boston's Simons School of Management yang meneliti ekuitas merek dan isu gender.


Kuncinya adalah Awareness

Avery menegaskan bahwa marketer harus benar-benar paham akan bagaimana cara konsumen menggunakan brand mereka. “Beberapa brand tidak banyak digunakan sebagai identitas, tapu ada beberapa yang ditetapkan sebagai laki-laki atau perempuan, itulah mengapa gender bending menjadi sesuatu yang berbahaya,” tambah Avery.

Lebih jauh Avery yakin bahwa di masa ekonomi saat ini banyak pihak yang akan mengejar keuntungan jangka pendek. Sedangkan Paprocki merekomendasikan bahwa ketika mengenalkan brand baru, existing brand bisa digunakan untuk meningkatkan tingkat kredibilitas, tapi harus memastikan sub-brand bisa berbicara pada market yang baru.

Lois Olson, pengajar di San Diego University memiliki dua pendapat mengenai hal ini. “Pertama adalah dengan sedikit mengubah nama brand, atau melakukan twist agar brand bisa berbeda,” kata Lois. Yang kedua, ia memberikan istilah 'sell on the sly”, dimana ketika produk sangat spesifik untuk market, cara terbaik yang bisa dilakukan adalah mempertahankan pesan, pada medium apapun. “Agar tidak overlap”, kata Lois.

A MILD, DJARUM COKLAT, SURYA 16

Iklan: A MILD versi “Go A Head People With Shadows”


Andoko Darta Doni Prianto Shafiq Muljanto
Konsep kreatif **** **** *****
Komunikasi *** *** ****
Eksekusi **** *** ****
Komentar Konsep kreatifnya baik, dengan catatan, konsumen harus melihat iklan ini dengan frekuensi cukup sering sebelum mereka benar-benar mengerti komunikasi iklan ini. Pesan “go ahead” disampaikan dengan cara yang sangat berbeda akan lebih diingat oleh konsumen, jika konsumen dapat menangkap maksud iklan ini. Ide 'kenyataan VS bayangan' menarik, tapi pengolahan menjadi pesan 'Go Ahead' kurang optimal karena 'directing' tata gerak para 'shadow' kurang tergarap. Merupakan konsep baru dari rangkaian panjang kampanye a mild. Sangat kuat, fresh, tetapi saya merasa ada jarak dengan pemirsanya.

Iklan: DAJRUM COKLAT versi “Nidji Sing Erwin Gutawa Song”


Andoko Darta Doni Prianto Shafiq Muljanto
Konsep kreatif *** * ****
Komunikasi *** ** ****
Eksekusi *** **** ****
Komentar Iklan semacam ini sangat banyak ditemui di banyak kategori, sehingga menyulitkan konsumen untuk mengingat bahwa iklan kegiatan outdoor, nyanyi nyanyi dan menggunakan grup band Nidji adalah iklan Djarum Coklat.

Pesan yang ingin disampaikan juga jadi kurang jelas dimana di akhir iklan tidak ditutup dengan pesan utama brand yang ingin diingat oleh konsumen.

Pada dasarnya Jingle Djarum Coklat, baik irama maupun liriknya tidak kuat. Jadi biar pun digarap Erwin Gutawa, Nidji dan Orkestra Praha, ga bisa keren. Banyak ketolong dengan eksekusi. Tidak ada yang baru ditawarkan, selain eksekusi yang baik. Tetapi saya merasa ada relevansi yang sangat kuat dengan target perokoknya.

Iklan: SURYA 16 versi “Building City At The Beach”


Andoko Darta Doni Prianto Shafiq Muljanto
Konsep kreatif **** *** ****
Komunikasi **** * (**) ****
Eksekusi **** ***** *****
Komentar Konsep kreatifnya baik karena dapat dengan menarik menyampaikan pesan citra ekslusif yang ingin di usung Surya 16.

Penggunaan teknik story telling digarap dengan baik, dengan mengangkat sikap bijaksana, percaya diri dan pantang menyerah seorang eksekutif muda dalam mengerjakan sebuah karya. Komunikasi jelas dan eksekusinya juga digarap dengan apik.

Visi awal Keberhasilan untuk Surya 16? Komunikasi yang 'Set back ' / mundur (*) karena komunikasi yang dulu adalah kesan mapan/sudah berhasil. Kecuali kalau memang sengaja menggeser target audience ke yang lebih muda. Komunikasinya jadi standard ( ***). Eksekusinya nyaris mendekati sempurna tetapi untuk sebuah produk rokok konsepnya terasa sangat serius dan jauh dari targetnya.

Keterangan Score: * sangat buruk, ** buruk, *** sedang/standard, **** baik, ***** sangat baik

Juri: Andoko Darta, Co Chairman Adwork! EURO RSCG; Doni Prianto, Managing Director Avicom Advertising; Shafiq Muljanto, Creative Director Dentsu Strat.

Sumber : Marketing Mix

Senin, 11 Januari 2010

About Blessing Comm.

Blessing Communication is an advertising agency in Yogyakarta. We handle marketing your product communications. Able through outdoor media (billboards, baligho, banners, Neonbox, roadsign, etc.); print media (newspapers, magazines, brochures, etc.); electronic media (television, radio) We also do printing (LEAFLEAT, posters, vouchers, etc.); graphic design (packaging design, print ad design, layout, retouch, etc.); photography; event / brand activation; production house.

BLESSING COMMUNICATION
Phone: 081804222501 / 081227017111
Email: blessing.comm@gmail.com